Renungan GKE

Minggu, 22 Juli 2012

AGAMA: PELESTARI SIFAT KEKANAK-KANAKAN MANUSIA ?!



I. PENGANTAR TELAAH

Konon katanya, bangsa kita adalah bangsa yang paling religius. Sebagai orang Indonesia tentu kita bangga dengan predikat itu. Dan memang terang bagai siang, banyak tanda-tanda dapat kita jumpai sebagai bukti bahwa pernyataan tersebut ada benarnya juga. Tanpa mengada-ada. Lihat saja di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok desa, rumah-rumah ibadah yang baru terus dibangun, dari bentuk yang sederhana sampai yang istimewa bak rumah surga. Seolah Tuhan pun berdecak kagum tak berkedip memandang ke setiap menaranya, berjuntai lambang-lambang agama. Di setiap ibadah-ibadah selalu dihadiri umat. Bahkan pada kebaktian-kebaktian "Kebangunan Rohani" (KKR) atau pun pada perayaan hari-hari besar agamawi saat tertentu, selalu dikunjungi banyak umat hingga tak tertampung. Sampai meluap-luap.

Rasa-rasanya, berapa pun gedung ibadah dibangun, ia tidak akan pernah cukup. Meski gedung-gedung ibadah baru bermunculan laksana jamur di musim penghujan. Fakta teramat kentara pula, busana khas nasional pun mensifatkan nuansa agamawi. Bahkan, hampir tidak ada kata sambutan para pejabat yang tidak dimulai dengan kalimat: "Pertama-tama mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat melaksanakan acara seperti sekarang ini....." Tetapi yang paling ironis adalah, sementara bangga sebagai bangsa yang berpredikat paling religius, sementara itu pula sebagai negara yang paling korup.

Sementara bangga sebagai negara penyandang Pancasila falsafahnya dan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sila pertamanya, sementara di sisi lain banyak aksi moral dilakukan atas nama agama: intrik-intrik busuk, keculasan, kebengisan, kkerusuhan di mana-mana. Bahkan pengrusakan, penganiayaan, pembakaran, pembunuhan, bersikap anti manusiawi bernuansa SARA sangat merajarela. Agama dalam keadaan demikian menjadi impoten, mandul, banci - tidak dapat secara kreatif menjalankan fungsi luhurnya mentranspormasikan keberartian kehendak Tuhan yang transenden (jauh tak terhampiri) untuk dihadirkan menjadi karya Tuhan yang immanen (dekat mewujud nyata) dalam kebahasaan manusiawi bagi keterpurukan insan-insan tersesat di jurang planet bumi ini.

II. KEKURANGDEWASAAN BERAGAMA

Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak sedikit umat beragama yang kurang bahkan tidak begitu memahami keluasan atau kedalaman ajaran agamanya, sehingga tidak jarang terjerumus ke dalam sikap primordialime dan sektarianisme beragama; berpandangan sempit, picik, fanatik buta, bersikap arogan ketika berinteraksi dengan yang berlainan kepercayaannya. Tidak jarang pula, di antara umat beragama diliputi saling kecurigaan, syakwasangka, ketakutan, bahkan kebencian mewarnai aktivitas praksis kehidupan keberagamaan sehari-hari. Mencermati situasi yang ada, barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita: apakah artinya agama kalau dalam kehidupan nyata tidak mencerminkan nilai-nilai moral yang berbudi luhur? Bukankah kehidupan beragama yang bergerak pada garis horizontal seharusnya melampaui tapal batas para penganut agama itu sendiri, supaya dapat menembus medan kehidupan sosial, dapat dihayati dan bermanfaat bagi mahluk Tuhan yang lain (teristimewa manusia) yang ada di sekitarnya?

Apabila kita cermati secara cerdas bahwa "kekurangsewasaan beragama" adalah sumber tindakan kurang jeniun berwajah agama, awal dimensi tragis dari sebuah ortodoksi yang ingin membuat wajah absolutnya dengan cara memaksa; pengiyaan klaim dari berbagai bentuk intrik-intrik busuk, keculasan bashkan kebengisan untuk menggilas keluhuran Hak Asasi Manusia atas nama "Tuhan". Religiusitas yang dihayati sebagai "agama keramat" (agamaku satu-satunya yang benar) terhadap kenyataan empiris mengakibatkan para pemeluk agama jatuhy ke dalam ekstrim "manusia untuk agama". Sadar atau tidak, melahirkan sikap diskrimitatif terhadap puhak lain yang berbeda formula keimanannya. Sebagai akibat pengiyaan (pembenaran) yang sangat restriktif terhadap pembelaan berlebihan terhadap "Kesucian Tuhan" atas nama agama (agama untuk membela Tuhan?), melahirkan pula apa yang dapat kita istilahkan sebagai "kekonyolan orang beragama".

Sifat kekanak-kanakan beragama pun semakin menjadi-jadi manakala ditunjang gaya usurpasi, koopsi dan otokrasi dalam struktur masyarakat yang sarat dengan residu kultur feodal - semakin mempertajam represi, ketidakadilan dan sikap intoleran beragama. Demikian pula keadaan keberagamaan semakin diperparah dengan bersandingnya agama dan politik. Campur aduknya agama dan politik juga merupakan lahan yang subur bagi pengiyaan (pembenaran) penghayatan agama secara primordial; agama lalu tidak lagi menjadi panggilan yang sebenarnya, sebagai rahmat dan berkat bagi seluruh umat, tetapi justru dijadikan sebagai sekat.

III. STANDAR KENORMALAN DAN BOBOT AGAMA

Kehadiran agama-agama di tengah dunia ini tentu dengan suatu maksud dan tujuan yang luhur, menjadi sarana berkat untuk menghadirkan tanda-tanda "Kasih Allah", yaitu: kebenaran, keadilan, kesejahteraan, perdamaian, integritas ciptaan, dan keselamatan. Agama yang tidak menjalankan fungsi luhur tersebut telah kehilangan dan menghianati alasan keberadaannya, sehingga sebenarnya tidak layak disebut sebagai agama yang bereksistensi lagi. Kredibilitas dan akuntabilitas agama sebenarnya diukur dari respons yang diberikannya terhadap persoalan-persoalan nyata, khususnya persoalan kemanusiaan.

Dalam hubungan ini, umat beragama dihubungkan dan diikutsertakan dalam karya penyelamatan Allah bagi dunia yang berlaku bukan saja dengan dan di dalam agama sendiri, melainkan juga dengan dan untuk segenap umat manusia, ketika kebenaran, keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan itu dinyatakan kepada sesama manusia. Kenormalan dan bobot agama secvara demikian dengan sendirinya menjadikan agama bersifat terbuka, luwes, dinamis, serta dialogis terhadap segala perkembangan dunia dan masyarakat, namun dengan sikap kritis, positif, kreatif, tetati tetap realistis (bdk. Roma 1:14; 12:1-2; I Korintus 9:19-23).

Kenyataan keragaman agama dalam masyarakat adalah realitas yang tidak mungkin dapat terhindarkan dan tidak ada satu pun komunitas keagamaan yang tidak berada dalam realitas tersebut. Pada dasarnya, keragaman dan kemajemukan agama dalam masyarakat, di satu sisi merupakan kekayaan ke-bhineka-an dalam masyarakat untuk berkarya mengisi dan saling melengkapi; sedangkan di sisi lain, dapat menjadi titik lemah kerawanan, sumber pemicu perpecahan. Keadaan yang demikian tentu dapat membawa suatu lingkungan ke arah kurang kondusif dan kurang menguntungkan bagi keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.

Masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh suatu persetujuan bersama secara etis untuk mencapai tujuan itu. Tanpa konsensus semacam ini, kelompok-kelompok berbeda (yang sebenarnya menghadapi masalah bersama) tidak akan mungkin bisa bertindak bersama, jika masing-masing mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri, dan "Tanpa suatu konsensus dasar minimal tentang nilai, norma, dan sikap tertentu, tidak mungkin ada masyarakat yang mampu bertahan, baik dalam kelompok kecil atau besar" (Hans Kung 1991:28).

IV. KRITIK AGAMA

Mengacu pada pemikiran "Aufklarung" (pencerahan) yang bertujuan membebaskan manusia dari sikap subjek yang cenderung mengasingkan diri ke dalam agama; di mana manusia universal menjuadi toluk ukur untuk mengkritik agama - apakah agama menghormati martabat manusia, pembawa damai dan kasih Allah yang memerdekakan manusia atau tidak? Dalam arti ini, keabsahan tampilan beragama, bila dipandang dari kritik agama adalah: "kebenaran agama terbukti dari kemanusiaannya." Kritik agama mensterilkan agama agar tidak jatuh ke dalam sikap yang hanya memagari diri dan hanya menciptakan rangking kesalehan rohani agama atau hyanya mengejar tingkat kesucian beragama teoritis semata, melainkan membuka diri dalam perlombaan untuk menghadirkan kebajikan kepada sesama manusia, apa pun agama, status sosial, dan warna kulitnya.

Kenormalan dan bobot agama tentu juga didasarkan tampilan praksis iman yang wajar dan eksis. Yesus sendiri dalam ajaran-Nya mengecam orang-orang beragama yang hanya bangga pamer kesucian rohani saja tetapi yang tidak menunjukkannya dalam perbuatan nyata ketika berinteraksi dengan sesaama. Bahkan hal seperti disebutkan tadi dianggap Yesus sebagai sikap beragama orang-orang munafik (bdk. Matius 23:5; 7:21; 5:20-48; 6:1-4; 6:5). Seorang tokoh pluralis Indonesia Ahmad Syafii Maarif, yang terinspirasi dengan konsep "homo sapien" A.J.Toynbee (seorang ahli sejarah dari Inggris), menemukan benang merah bagi pemaknaan perspektif agama. Menurut Maarif, orang yang "memperdagangkan agama atas nama Tuhan adalah orang yang sedang bermain api dan mengingkari konsep ketulusan" (Ahmad Syafii Maarif 2001:21-25). Selanjutnya Maarif menandaskan bahwa "sikap arogan dan intoleran (melakukan paksaan, kasar atau halus dalam agama) sesungguhnya sangat ditentang dalam Al-Qoran" (Qs. Yunus:99).

Pemaksaan dominasi kelompok agama sebagai "satu-satunya kebenaran" yang hendak diterapkan dengan kepelbagaian kelompok lainnya di era sekarang ini adalah bentuk pemerkosaan yang paling menyolok terhadap "Keesaan Tuhan" itu sendiri. Penonjolan sisi baik agama sendiri, tanpa sevcaraj jujur juga mengakui sisi gelapnya adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap "kebenaran tunggal" yang sesungguhnya. Bahaya lebih jauh terhadap desakan klaim "kebenaran tunggal" akan mengakibatkan "valuelessness" (ketidakbernilaian) makna universal dan cenderung menjadi absolut - dimana tidak ada yang tertinggal - kecuali kemauan untuk berkuasa menjadi "tuhan kecil" atas manusia-manusia lainnya. Absolutisasi gagasan keagamaan manusia semacam ini akan menghasilkan, seperti apa yang diperingatkan Charlene Spretnak, sebagai suatu tipe individualisme, di mana suatu kelompok agama ingin menjadi seorang "koboi kesepian" yang harus mengalami semuanya sendiri (Spretnak 1991:125-127; 218-219; 245-246).

V. KRITIK SOSIAL

Agama dari sudut pandang sosiologis adalah jawaban atas rumusan serta tujuan utama agama: apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah (wujud yang paling luhur, mendalam, serta abadi, dalam seluruh tatanan kenyataan) dari manusia, bila manusia itu hendak hidup dalam kebersamaan dengan manusia-manusia lainnya berdasarkan kebenaran, keadilan, perdamaian, dan kebaikan. Jadi, agama secara sosiologis berperan sebagai prinsip guna mempersatukan sektor-sektor aksial yang mandiri untuk memelihara, memurnikan dan mempersatukan motivasi dasar manusia sehingga menjadi suatu sintesis kehidupan: suatu sintesis kehidupan yang diperagakan dalam kegiatansehari-hari, saat manusia itu berkecimpung di berbagai sektor aktivitas masyarakat yang kompleks.

Menurut teori moral agama, Henri Bergson (seorang filsuf Perancis), menyatakan bahwa moral agama yang dinamis adalah cara hidup beragama secara benar, tepat dan mutualistis. Teori Bergson tentang moral agama yang dinamis adalah suatu model beragama inklusif guna mengembangkan sikap mental untuk mewujudkan persaudaraan universal antar-umat manusia (Henri Bergson 1859-1941). Moralitas agama yang dinamis menjadi metacentrum sosialisasi pengalaman iman, yaitu pengalaman iman yang dihayati, pemberi makna kehidupan, penyalur sentuhan "Kasih Illahi" bagi sesama insan.

Orang beragama dapat menimba pengalaman iman dinamisma yaitu pada saat ia menyatakan kasihnya (emosi kreatif) kepada Allah, dan sebagai imbangannya ia akan mencurahkan kembali kasih Allah itu kepada umat manusia ciptaan Allah yang ia jumpai. Kesyahitan agama akan tercermin dari kenormalan, bobot serta aksi moral iman yang semakin dikembangkan pada orientasi dengan sesama manusia. Dalam arti ini, keluhuran dan keutamaan agama harus mampu menjadi sumber energi dahsyat untuk membebaskan keterpurukan manusia menuju kebenaran, kebaikan, kesejahteraan, kesempurnaan, kedamaian serta kebahagiaan. Agama yang benar sekurang-kurangnya selalu mampu mempertinggi moralitas dan bukan sebaliknya menghancurkan moralitas.

Aksi moral terjadi dan membuat klaimnya sebagai keabsahan dari suatu jagat moral tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk ke suatu "absolute moral ground" (dasar moral yang absolut). Kualitas kategori moral agama merupakan tuntutan etis tak bersyarat, tidak dapat ditentukan oleh manusia yang memang memiliki syarat dalam banyak hal, tetapi hanya oleh yang tak bersyarat, yaitu suatu absolut dari Allah yang Tunggal semata. Absolutisasi moral merupakan realitas tertinggi dan agung, yang walau pun tidak dapat dibuktikan secara rasional (logika), tetapi dari kedalamannya hanya mampu dipahami secara nir-akali (iman) - tidak perduli bagaimana ia dinamakan, dimengerti dan ditafsirkan oleh agama-agama yang berbeda (Kung 1991:53).

Pengalaman religius bukan hanya membuktikan adanya imperatif etis yang telah tertanam di dalam agama. Lebih dari itu, pengalaman itu harus dapat menghimpun umat ke dalam suatu story (kisah hidup) yang lebih luas, di mana tersedia suatu visi baru dan inspirasi untuk meraih visi itu. Jadi, agama bukan hanya untuk membuktikan tetapi juga menciptakan kehidupan etis. Agama bukan hanya meyakinkan komitmen etis, tetapi juga turut mendorong menggairahkan komunitas umat untuk melaksanakannya secara baik dan benar. Konstribusi moral yang mengakar dalam agama memang sangat vital, kalau bukan menentukan terhadap keperdulian etis global. Toh pun agama-agama menawarkannya dalam warna simbol dan naratif yang berbeda-beda kepada para pengikutnya (Kung 1991:53). Bahkan, beberapa penganut paham pascamodernisme pun berpandangan bahwa kondisi sosial manusia dewasa memerlukan semacam "otot moral" sebagai dasar bersama, yang di atasnya dapat dibangun berbagai keyakinan, kriteria aksi bersama (Knitter 2003:83).

VI. PENGHUJUNG TELAAH

Agama yang biasanya kita anggap sebagai "obat instan penenang batin", di era sekarang ini, mau tidak mau, juga harus terbuka (tulus) untuk menjadi ajang interpretasi kritis secara jeniun. Dalam arti ini, kekhasan suatu agama tidak semata terletak pada seberapa banyak monopoli klaim kebenaran dogma yang dikeramatkan, melainkan terletak pada identitasnya yang khas berdasakan proses "aproprisasi" (pemahaman diri). Adalah sikap kedewasaan beragama, apabila setiap "terks" agama selalu dicari relevansinya pada "konteks" praksis iman rasional: "Fides quarens intellektum" (iman yang mencari pendasaran rasional). Mempertahankan paradigma eksklusif sebagai pola absolut tunggal, menentang kompleksitas dan keragaman kenyataan riil dapat berarti mempertahankan "sifat kekanak-kanakan orang beragama", dan naif! Membangun teologi di dalam benteng sendiri sebagai satu-satunya "kebenaran tunggal" sudah tidak memadai lagi.

Kebenaran pada hakikatnya pasti memerlukan kebenaran lain. Kebenaran tanpa kebenaran lain tidak akan pernah menjadi sungguh-sungguh benar! Namun, kebenaran menjadi benar bukan dengan mengalahkan kebenaran lain, melainkan justru dengan memperlihatkan kemampuannya berelasi dan berintegrasi dengan kebenaran lain. Demikian juga, kebenaran baru menjadi benar bila dapat diakui, dapat berbagi, dan melibatkan banyak pihak. Dalam konteks religius itu berarti bahwa, orang beriman tidak akan memahami identitas religiusnya yang sejati selama diaw tidak berani berkomunikasi dan dikoreksi, menimba dan diperkaya dengan tradisi religius lainnya.

Keluhuran dan universalitas agama tidak terletak pada kalimat "teks" dogmatis semata, melainkan pada kualitas energi "produk riil" etisnya, yaitu kualitas kreatif iman hayatiahnya. Karena itu, adalah suatu kenaifan beragama apabila rumusan dogmatis secara vertikal sedemikian jelas hitam putihnya - sementara iman dan tindakan etisnya - yang bergerak pada medan horizontal kehidupan antar-manusia justru menjuadi sedemikian ambigu: menjadi kabur batas antara hitam dan putihnya?! Karena sudah lama secara umum diakui - bahwa garis vertikal dan horizontal - merupakan kaidah penentu kenormalan, bobot, isi, bentuk, arah dan fungsi agama sesuai makna dan hakikatnya. *(KU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar