Galatia 4:31
Seorang filsuf asal Perancis bernama Sartre pernah berkata, bahwa manusia itu “dikutuk untuk merdeka.” Manusia
bagaikan atlas dalam mitologi Yunani, yaitu dewa yang dikutuk untuk
memanggul bola dunia ini. Memikulnya berat, tapi melepaskannya tidak
mungkin. Yang mau dikatakannya adalah, bahwa sesuatu yang bernama “merdeka”
itu tidak enak, tidak mudah, tidak gampang, serba terikat, dst.
Artinya, apabila orang ingin hidup merdeka berarti ia harus mau
menanggung beban berat, tidak enak, hidup serba terikat!
Saudara, barangkali kita mengatakan bahwa ahli pikir dari Perancis ini keliru besar untuk memberi makna terhadap istilah “merdeka” itu. Sebab, bukankah yang namanya “merdeka”
berarti bebas, tidak terikat, enak, tidak bergantung kepada sesuatu
yang lain, lepas dari tuntutan-tuntutan atau kewajiban-kewajiban, dan
berdiri sendiri? Kenapa “merdeka” itu mesti tidak enak, tidak
mudah, tidak gampang, tidak bebas, berat dan serba terikat? Lalu merdeka
dari apa? Merdeka yang bagaimana? Ini penting! Karena tidak jarang
orang-orang Kristen tidak menyadari akan statusnya sehingga tidak tahu
bagaimana menjalankan hidupnya sesuai dengan statusnya itu.
Hidup “merdeka”
yang sesungguhnya tentu menuntut pola-pola hidup yang sesuai dengan
nilai dan hakikat kemerdekaan itu sendiri. Ya, karena ada
tanggungjawabnya. Juga ada resikonya! Jika tidak, itu bukanlah bobot
kebermaknaan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Atau dengan kata
lain, dapat berarti menyalahgunakan kemerdekaan itu sendiri.
Menyalahgunakan kemerdekaan. Bagaimana misalnya? Nah, ini! Contohnya
seperti Herodes dan Pilatus. Yang satu “raja” dan satunya “gubernur
jendral”. Mereka adalah orang-orang berkuasa. Palu ada di tangannya.
Tapi lihatlah ketika kemerdekaan pribadi dijalankan. Mereka lalu
sungguh-sungguh menjadi tidak merdeka. Tidak merdeka memutuskan perkara.
Tidak merdeka melaksanakan keadilan. Tidak merdeka untuk berbuat
kasih!
Di
sinilah masalahnya. Ketika kemerdekaan itu dipahami sebagai kebebasan
dan kebahagiaan pribadi, saat itulah justru kebebasan dan kebahagiaan
membuat mereka kehilangan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Mereka
mejadi tidak merdeka sebab akhirnya tidak dapat menikmati jamuan di
Kerajaan Surga. Coba pula kita saksikan dalam Alkitab, tentang seorang
kaya yang merasa bebas merdeka untuk tidak perduli kepada Lazarus yang
menderita seperti yang tertulis dalam Injil Lukas 16:24. Ia merdeka
untuk menikmati segala kebahagiaannya. Tetapi ketika kebebasan pribadi
dijalankan, saat itulah ia diikat menjadi tidak merdeka. Tidak merdeka
untuk melakukan kasih.
Dan
memang, bila kemerdekaan yang sesungguhnya itu tidak dijalankan secara
bertanggungjawab atau disalahgunakan, nah…. disinilah titik awal orang
menjadi tidak lagi menjadi sungguh-sungguh merdeka! Apa contohnya?
Nah, ini… Ketika orang-orang Kristen merasa bebas memilih. Bebas
memilih beribadah atau tidak, memberi persembahan atau tidak, berkorban
atau tidak, dst. Melakukan atau tidak melakukan ya dianggap sama saja.
Tanpa merasa ada tuntutan apa-apa, tidak ada yang mengikat. Toh saya
bebas berbuat, bebas memilih. Pokoknya bebas merdeka! Ya, bebas
merdeka! Kelihatannya memang merdeka, tapi sesungguhnya tidak merdeka
sebab diperhamba oleh kuasa dosa yang memperbudaknya. Akhirnya ia
sungguh-sungguh menjadi tidak merdeka.
Karena
tidak menyadari statusnya, ia rela saja menukarkan kemerdekaannya yang
paling asasi, yakni keselamatannya dengan kemerdekaan-kemerdekaan yang
sementara. Menukarkannya dengan rasa aman yang sementara yang serba
mudah, serba enak, serba gampang, serba ringan tanpa resiko. Pokoknya
asal bebas merdeka. Lepas dari sesuatu yang mengikat, bebas berdiri
sendiri, tidak bergantung kepada sesuatu yang lain. Akibatnya? Tanpa
disadari ia lalu dibatasi oleh kebebasannya sendiri dan pada saat
itulah ia benar-benar kehilangan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana pula kita memahami akan makna status kita sebagai orang Kristen yang dijuluki sebagai “orang-orang merdeka”?
Rasul Paulus sendiri memberikan kiasan kepada orang-orang Kristen sama
seperti anak yang dilahirkan oleh perempuan merdeka (artinya dari yang
bukan hamba). Rasul Paulus berkata: “Karena itu saudara-saudara, kita bukanlah anak-anak hamba perempuan, melainkan anak-anak perempuan merdeka.” (ay.31). Ya, itulah status kita. Sebagai anak-anak merdeka! Tetapi apa arti sebenarnya dari julukan kita sebagai “orang-orang merdeka”?
Lalu merdeka dari apa? Merdeka yang bagaimana? Ini penting! Karena
tidak jarang orang-orang Kristen tidak menyadari akan statusnya sehingga
tidak tahu bagaimana menjalankan hidupnya sesuai dengan statusnya itu.
Memang dalam kenyataannya, masih banyak orang-orang Kristen yang walaupun statusnya adalah “orang-orang merdeka”,
namun dalam hidup kesehariannya adalah orang-orang yang hidupnya
terkurung dalam kepengepan dan kegelapan. Tidak bebas. Tidak dapat
menikmati sukacita serta kebahagiaan dalam kemerdekaan yang
sesungguhnya. Statusnya saja sebagai orang-orang merdeka, tapi jiwanya
tidak merdeka. Statusnya saja yang mulia namun pribadinya hina. Inilah
bahaya terbesar bila orang-orang percaya tidak menyadari status dirinya
sebagai orang-orang merdeka dalam arti yang sebenarnya.
Coba kita renungkan keadaan Adam dan Hawa di taman Eden ketika dalam keadaan yang “merdeka” dalam
arti yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang diberikan Tuhan sendiri
kepada mereka. Tetapi apa yang terjadi ketika kebebasan pribadi
dijalankan? Mereka tidak lagi menjadi orang-orang merdeka, tetapi
menjadi hamba kuasa dosa dan kematian kekal adalah upahnya. Coba kita
renungkan juga tentang orang-orang yang berdalih terhadap tawaran
undangan Kerajaan Allah dalam Injil Lukas 14:24. Mereka bebas untuk
memilih mana yang mereka anggap menguntungkan. Mereka bebas untuk
menolak tawaran undangan, bebas untuk menentukan pilihan. Mereka memang
merasa merdeka dan berbahagia. Namun kemerdekaan dan kebahagiaanya
sementara.
Dari
beberapa contoh dalam Alkitab memperlihatkan kepada kita, ternyata
benar apa yang dikatakan Sartre si ahli piker dari Perancis ini tentang
pengertian “merdeka”. Bahwa “merdeka” itu berat, tidak
enak dan serba terikat. Memikulnya berat, tapi melepaskannya tidak
mungkin. Sebab apabila melepaskannya hanya sekedar memperoleh rasa aman,
kesenangan dan kebahagiaan sementara, itu berarti kehilangan
kemerdekaan yang paling asasi. Kehilangan rasa aman, kesenangan dan
kebahagiaan sesungguhnya seperti yang Tuhan kehendaki.
Apa
kemerdekaan orang-orang Kristen yang paling asasi? Itu adalah
kemerdekaan dari perbudakan dosa yang mengikat. Kemerdekaan asasi itu
telah dibayar mahal melalui korban Kristus. Hanya melalui korban
Kristuslah manusia beroleh kemerdekaan asasi itu. Alkitab berkata: “Jadi apabila anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” (Yoh. 8:36).
Namun untuk tetap memiliki kemerdekaan yang asasi itu memang tidak
gampang, tidak enak dan serba terikat. Kenapa biasa begitu? Karena untuk
tetap memiliki kemerdekaan yang asasi itu orang harus mengikat
kemerdekaan pribadinya yang berbau dosa agar tidak bebas merdeka! Sebab
hanya dengan demikianlah orang dapat benar-benar dapat bebas berbuat
untuk menjalankan hidup yang baru. Hidup yang telah dimerdekakan.
Menyandang predikat sebagai “orang-orang merdeka”
memang berat. Sebab juga ada tanggungjawabnya. Karena orang harus
hidup terikat dalam pola-pola hidup kemerdekaan itu. Tentang hal ini
Alkitab juga mengatakan: “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan
seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi
kejahatan-kejahatan mereka…..” (I Pet. 2:16).Saudara, walaupun predikat kita sebagai “orang-orang merdeka”
tidaklah gampang, berat, tidak enak dan serba terikat, namun nilainya
sangat mahal. Seperti kata Rasul Paulus bahwa kita akan menjadi ahli
waris dari Yerusalem sorgawi yang abadi.
Memahami
akan status kita tersebut maka perlu kita memelihara kemerdekaan yang
telah kita miliki. Kita tidak akan pernah rela menukarkannya hanya
sekedar memperoleh sejumput rasa aman dan kesenangan yang sementara.
Dengan demikian kita juga tentu harus bersungguh-sungguh menjalani
kemerdekaan asasi yang telah Tuhan berikan secara bertanggungjawab.
Bagaimana kita menjalaninya? Nasihat Rasul Paulus penting untuk kita
renungkan dan laksanakan: “Saudara-saudara memang kamu telah
dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan
kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa,
melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Gal. 5:13). Ya, kita merdeka dalam arti yang sesungguhnya apabila kita mau kehilangan kemerdekaan pribadi kita yang dikendalikan oleh “aku”-nya. Atau seperti yang dikatakan oleh DR.Eka Darmaputera bahwa “kita
benar-benar merdeka, apabila dengan bebas… bukan karena dipaksa atau
terpaksa… kita memanfaatkan kebebasan kita untuk mengabdi, taat,
berkorban dan member, juga untuk melayani sesama.” AMIN. *(KU).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar