Minggu, 22 Juli 2012
BAGAI KEMATIAN SANG KEKASIH TANPA PERKABUNGAN
Yehezkiel 24:15-27
Saudara, siapa pun orangnya, bila menghadapi peristiwa kematian pastilah ia berkabung, meratap. Itu wajar semata. Manusia normal namanya. Terlebih bila yang berpulang tuk selamanya itu adalah orang yang paling dicintainya. Suami atau isteri terkasih, umpama. Hanya manusia yang telah kehilangan rasa cinta kasih dan sayang sajalah yang tidak melakukannya. Anak kecil sekali pun terkadang menangisi Anjing kesayangannya yang mati tak pernah mau bernafas lagi. Tapi tahukah saudara, ada orang yang kehilangan kekasihnya. Isteri tercintanya! Siapa lagi kalau bukan isteri kekasih Sang Nabi Yehezkiel yang tercatat dalam nas ini. Yang menarik, ia dilarang oleh Tuhan untuk menangisinya, dilarang meratapinya. (ay. 16-17).
Yang tidak kalah menarik, kematian isterinya sendiri diumumkan oleh Tuhan sebelumnya. Diberitahukan oleh Tuhan sendiri kepadanya. Tuhan pun berfirman hendak mengambil istri Yehezkiel, tetapi Ia melarang Yehezkiel berkabung (ayat 16-17). Demikianlah saat kematian istrinya terjadi, Yehezkiel tidak berkabung (ayat 18). Hal yang tidak lazim ini menimbulkan pertanyaan dari umat Israel (ayat 19). Wah...wah...wah... Hal yang tidak pada biasanyanya. Tak lazim seharusnya terjadi. Apa pasalnya? Apakah karena menangis atau meratapi kekasih yang telah berpulang itu dosa? Oh, tidak saudara! Bila hanya sekedar menangisi atau meratatapi sang kekasih hati yang telah pergi untuk selamanya alias mati, belumlah berarti dosa.
Lalu apa masalahnya? Nah, ini saudara. Bahwa peristiwa tragedi yang menimpa Sang Nabi Yehezkiel ini dipakai Tuhan sebagai gambaran yang hidup atau lambang bagi bangsa Israel (ayat 24) agar mereka mengetahui dan mengakui bahwa 'Akulah Tuhan ALLAH' (ay. 24 b, 27). Bahwa mereka akan mengalami kematian, tetapi mereka tidak akan bisa berkabung. Umat Tuhan mengalami semua ini agar mereka sadar bahwa dosa-dosa mereka tidak dapat ditolerir oleh Allah yang kudus. Selama itu mereka menyombongkan diri bahwa apa yang mereka miliki: kekuasaan yang pernah ada, kenikmatan-kenikmatan lahiriah, serta anak lelaki dan perempuan mereka, dianggap adalah hak atau hasil upaya mereka sendiri. Maka semua hal itu akan Tuhan ambil dari mereka.
Saudara, barangkali muncul pertanyaan di benak kita, bukankah Allah itu kejam dan tidak adil? Bukankah seharusnya Ia melindungi bahkan memberkati hambanya, apalagi sang nabi supaya tidak mesti mengalami hal yang demikian? Tidak adakah jalan keluar yang lebih bijak dan manusiawi? Dan mungkin tentu saja banyak pertanyaan lain yang kita ajukan atas peristiwa pahit yang kita dialami dalam hidup ini, seperti juga yang dialami oleh sang Nabi ini sendiri! Namun justru sebaliknya yang terjadi. Dari pembacaan ini seolah tidak terlihat bahwa Tuhan menolong atau memberikan jalan keluar. Terlebih kepada hamba-Nya sendiri, sang Nabi.
Dapatkah saudara bayangkan betapa luluhnya hati sang nabi Yehezkiel, sementara Yehezkiel mengabdi, melayani, kerja, sibuk semata-mata buat Tuhan, tetapi malah datang pesan dari Tuhan. Bukan pesan berkat, tapi malah pesan kematian yang menyakitkan. Sang kekasih seolah dirampas di tengah kebahagiaan. Secara manusia tentu kita mengatakan bahwa ini tidak adil. Yehezkiel sangat mengasihi isterinya, tetapi Tuhan ambil. Apa yang Yehezkiel cintai diambil oleh Tuhan ditengah-tengah tugasnya. Bahkan dipesankan jangan menangisinya, jangan berduka atasnya, yang secara manusia tidak lazimnya ini terjadi.
Saudara, bagaimana seandai peristiwa macam ini terjadi pada kita sebagai manusia yang waras? Mungkin saja kita berpikir, buat apa melayani sesama, toh bukan berkat yang didapat? Untuk apa berdoa jika jawaban yang diterima bukan malah seperti yang dinginkan? Untuk apa menjadi berkat bagi orang lain, bila diri sendiri bahkan orang yang dicintai bukan malah dilindungi dan diberkati oleh Tuhan? Sulit memang kita membayangkan. Terkadang keputusan-keputusan Allah memang diluar nalar kita sebagai manusia.
Saudara, memang terkadang dalam hidup ini ada peristiwa-peristiwa yang sulit kita mengerti pada saat kita mengalaminya. Ada banyak benturan dalam kehidupan yang tidak mampu kita pahami maknanya. Pada saat-saat kita semua didera oleh kemalangan, kepedihan, kesulitan, seolah hati kita terbanting berkeping-keping. Pada saat-saat kita tak berdaya, di ujung keputusasaan itu kita dihadapkan pada sebuah tanda tanya besar, di mana kasih sayang Tuhan? Di mana keadilan Yang Maha Kuasa?
Demikian pula dalam kehidupan kita, ada peristiwa yang menyebabkan kita kehilangan harta, materi, mata pencaharian bahkan orang yang kita kasihi. Tentu saja itu semua membuat kita sedih, kesal, marah, bahkan menggugat Tuhan karenanya. Beberapa di antara kita mengalami pergumulan batin yang panjang karena penolakan atas kejadian yang tidak menyenangkan ini. Ada yang menolak begitu keras, sehingga menjauh dari Tuhan. Namun jika kita dapat merenungkan lebih dalam apa kehendak Tuhan di balik itu semua, yang secara positif menerima setiap peristiwa baik menyenangkan maupun tidak dalam kehidupan ini, niscaya suatu hari nanti kita akan menyadari adanya berkat-berkat yang tersamar dalam setiap peristiwa yang kita alami.
Tidak mudah memang untuk menerima ketetapan Tuhan yang jauh dari apa yang dapat kita bayangkan. Hanya satu hal jawabannya yang pasti. Bahwa untuk mendapatkan berkat Tuhan tidaklah mudah. Diperlukan iman yang kuat, kesabaran yang luar biasa, ketekunan dan kesetiaan yang tiada pernah luntur oleh keadaan. Ya, hanya dengan itu. Dalam kondisi seperti itu maka hal paling bijak yang dapat kita lakukan adalah pasrah, sabar dan tabah menerima segalanya dengan ikhlas. Inilah misteri ilahi, yang di luar jangkauan pemikiran kita.
Namun kita harus percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan hal yang buruk (kutukan) kepada kita. Sifat-Nya yang maha-rahimi itu, niscaya tidak akan tega mengirimkan bencana dan kemalangan kepada kita. Untuk memahami semua itu, dari fihak kita manusia harus memiliki respon iman. Namun disini, tentu saja, tidak berlaku iman yang setengah-setengah. Atau mensyukuri keagungan Tuhan waktu berkat-Nya melimpah diberi. Tetapi bertahan, berserah secara total, toh kepedihan bagai cambuk bertubi-tubi mendera! Karena untuk meraih berkat Tuhan, ada proses yang terjadi dan kita harus membayar harga mahal, yang mungkin secara daging sakit, tetapi itulah kehendak Tuhan, dimana Tuhan akan menepati janjiNya bagi setiap orang yang setia melayani-Nya. Taat dan mengabdi hanya kepada-Nya.
Saudara, dari berbagai pengalaman nyata kehidupan orang percaya, bencana dan musibah itu seringkali juga merupakan “berkat terselubung”, berkat tersamar yang belum kita sadari saat kita mengalaminya. Baru sesudah kita renungkan, dan coba hayati dengan hati terbuka, berkat-berkat itu menyentuh hati kita sehingga kita dapat memahami mengapa peristiwa itu terjadi. Karena itulah saudara, kita harus selalu belajar mengucap syukur dalam segala hal. Janganlah sekali-kali kita bersungut-sungut. Seandainya ada sesuatu yang kita tidak kuat, yang membuat kita menderita, mintalah Tuhan memberikan kekuatan.
Mohonlah pertolongan, semangat, keberanian, supaya kita jangan berdosa di hadapan Allah. Renungkanlah, bahwa hidup yang disirami dengan air mata tragedi dan penderitaan seringkali menjadi tanah yang subur untuk pertumbuhan spiritual. Orang yang paling bahagia di dunia ini adalah orang paling ikhlas menjalani hidup.. Menikmati setiap kenyataan ketika orang lain mengeluh... karena ia mampu melihat apa yang sebenarnya dengan mata iman yang dinampakkan Sang Pencipta padanya, dan tahu mensyukurinya... AMIN. *(KU).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar