Renungan GKE

Jumat, 20 Juli 2012

TIGA DOSA MENDASAR PEMBAWA KEHANCURAN


Hakim-Hakim 17:1-13

Apalagi namannya jika bukan kemerosotan moral bangsa Israel yang diceritakan melalui nas ini. Dikatakan dalam nas, adalah seorang yang bernama Mikha dari pegunungan Efraim. Nama Mikha berarti "Yang seperti Yahweh". Namun kisah hidupnya tidak memperlihatkan karakter seperti Yahweh. Ia mencuri uang ibunya (ayat 2). Nilai uang yang dicurinya tidak kecil, cukup untuk biaya hidup seorang Israel seumur hidup (band. ay. 10). Lalu mengapa ia mengembalikan uang itu? Mungkin ia takut kena kutuk ibunya. Akan tetapi, tidak ada kata maaf yang keluar dari mulutnya. Mikha telah melanggar Hukum Taurat yaitu "Jangan mencuri" dan "Hormatilah ayahmu dan ibumu" (Kel. 20:15, 12). Ada tiga kasus yang menunjukkan kemerosotan moral pada zaman itu diungkapkan melalui nas ini.

Pertama: Dosa mencuri. Mikha mencuri uang perak ibunya. Ia sempat membuat ibunya menduga, orang lain yang mencuri. Kesalahannya jelas tidak ringan. Namun begitu ia mengaku, ibunya segera mengampuni. Sikap ibunya yang lunak itu mungkin dapat kita benarkan karena alasan sayang. Tetapi hal itu tidak mendidik. Pengampunan dan pemulihan memang harus terjadi di antara umat Tuhan, namun tidak dengan menyepelekan dosa.

Kedua: Orang tua tidak bisa menjadi teladan kebenaran. Aneh, si ibu tidak memarahi anaknya. Ia justru memberkati dia. Mungkin ia berharap berkat itu membatalkan kutuk yang terlanjur dia ucapkan. Kemudian ia mau mempersembahkan uang itu kepada Tuhan. Nyatanya, hanya 200 dari 1.100 uang perak yang dia berikan. Si ibu telah mencuri 900 uang perak dari jumlah yang ia ingin persembahkan pada Tuhan. Rupanya Mikha belajar ketidakjujuran dari ibunya.

Ketiga: Dosa penyembahan berhala. Kesalahan semakin fatal karena ibu dan anak memakai uang itu untuk membuat patung sesembahan (ayat 3-5). Ini juga melanggar Hukum Taurat, yaitu "Jangan membuat bagimu patung...." (Kel. 20:3). Namun kesesatan masih belum berhenti. Selain menyembah patung yang telah dibuat, Mikha menetapkan seorang Lewi menjadi imam (ayat 9-12). Padahal ia tidak punya otoritas untuk melakukan hal itu. Ia malah mengira bahwa Tuhan berkenan atas semua itu (ayat 13).

Apa komentar kita terhadap Mikha dan ibunya? Memang tidak tampak adanya maksud jahat di sini. Ia tampak tulus. Namun ketulusan saja tidak cukup, bila dilakukan tanpa landasan kebenaran. Bisa dimengerti, kalau ibu itu tidak memiliki prinsip jelas tentang disiplin, karena tidak tahu tentang kebenaran. Firman Tuhan menyatakan:1) larangan penyembahan berhala, 2) hanya keturunan Harun yang boleh menjadi imam, 3) kurban harus diberikan di kemah sembahyang, 4) berkat hanya datang karena ketaatan bukan oleh upacara ibadah. Bila orang Lewi saja tidak paham aturan itu, apalagi keluarga tersebut. Tidak heran bila umat Tuhan itu hidup liar.

Bila kita lihat situasi dan kondisi pada masa itu, memang semua orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri (ayat 16). Tak ada tuntunan dan tak ada yang memimpin. Sungguh bersyukur kita, yang memiliki Alkitab sebagai penuntun hidup kita. Melalui Alkitab, kita bisa mendengar suara Tuhan. Maka jangan sia-siakan Alkitab kita. Sediakan waktu untuk menyelidiki apa yang berkenan di hati Tuhan, dan lakukan! Paham dan taat Firman Allah adalah prasyarat kepribadian yang berintegritas, keluarga rukun, masyarakat yang diberkati Tuhan. AMIN! *(KU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar