Renungan GKE

Sabtu, 21 Juli 2012

WASPADALAH TERHADAP PENYESATAN


Lukas 17:1-6

Nas ini berisi nasihat Tuhan Yesus kepada para murid, khususnya masalah “penyesatan”. Penyesatan memang selalu ada, karena itu kita perlu selalu waspada agar tidak menjadi korban penyesatan. Bukan hanya itu, tetapi juga perlu mawas diri agar kita sendiri tidak menjadi pelaku kejahatan yang justru membuat batu sandungan sehingga orang lain menjadi tersesat. Bagi para pelaku kejahatan tersebut Tuhan Yesus dengan suatu peringatan keras berupa ucapan “celakalah” dalam bentuk gambaran figuratif, yaitu: “adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini (ay.2).

Peringatan keras dari Tuhan Yesus ini menunjukkan bahwa tanggungjawab kepada sesama yang lemah, yang rentan dari berbagai bujukan dan tidak berdaya merupakan tanggungjawab etis yang tidak boleh diabaikan. Setiap orang percaya dipanggil untuk melindungi sesama yang lemah dari kemungkinan perbuatan jahat. Selain kita dipanggil untuk memberi fokus perhatian kepada sesama agar mereka dilindungi dari berbagai kemungkinan batu sandungan, juga kita diingatkan supaya senantiasa mampu menunjukkan kemurahan dan pengampunan. (ay. 3-4).

Gereja juga perlu memperhatikan spiritualitas dalam kehidupan berjemaat. Sebab jika yang di dalam gelap, bagaimana mungkin ia dapat menerangi dunia sekitarnya? Pengajaran gereja pun kita harus sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Sebagai orang percaya kita harus terus mempelajari kebenaran yang murni dan bertumbuh dewasa di dalam Tuhan. Intelektualitas bukan hanya dikembangkan dalam ilmu-ilmu sekuler, tetapi juga dalam kerohanian kita. Belajar Firman Tuhan harus dilakukan terus-menerus sampai kita menutup mata. Karena itu saudara, berdirilah tegak melawan si jahat, dan hiduplah bagi Allah saja. Dengan memahami kebenaran Tuhan yang mendalam, kita akan senantiasa waspada sehingga tidak akan menjadi mangsa empuk bagi para pengajar palsu yang sebenarnya sedang menipu jemaat dengan mengatasnamakan “Firman Tuhan” atau “suara Tuhan”.

Demikian pun pola kehidupan para pemimpin (baik para pemimpin Gereja atau masyarakat), tidak hanya bersangkut paut dengan kepiawian mengelola organisasi, Tata Gereja, Liturgi, sarana dan prasarana semata; tetapi haruslah mencerminkan spiritualitas penyangkalan diri. Demikian juga kepada para pembuat peraturan, para pengambil keputusan, haruslah berpihak kepada yang lemah tak berdaya. Hendaknya semua itu dibuat dalam rangka tegaknya kebenaran dan keadilan, bukan malah menjadi jerat, berbelit-belit, dan malah menambah sulit. Sikap iman harus dinyatakan dalam kehidupan dan pelayanan, dalam kasih dan pengampunan. Yang dibutuhkan oleh Tuhan bukanlah iman kita yang spektakuler, tetapi iman yang kecil namun eksis dengan bersandar kepada pertolongan Tuhan. AMIN! *(KU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar