Yohanes 7:53-8:11
Betapa malangnya
nasib seorang perempuan yang diceritakan dalam nas ini. Ia dirazia dan
kedapatan sedang berbuat zinah. Ia dirazia bukan oleh polisi atau penegak hukum
lainnya, tetapi oleh tokoh-tokoh agama, orang Farisi sang pembela kesucian
nilai-nilai agama! Oh, tugas rangkap rupanya! Oh... betapa terhinanya perempuan
ini. Entah apa yang ia rasa. Dipermalukan, memang tidak mengenakan. Hampir rata-rata
manusia (kalau mau jujur), tak ada yang
mau diperlakukan demikian. Namun apa daya, ia hanyalah seorang perempuan yang
lemah tak berdaya. Diperlakukan semena-mena.
Dapat saudara
bayangkan apa perlakuan orang-orang terhadap perempuan ini di sepanjang perjalanan
sebelum menerima hukuman mati. Digiring dengan sepak tendang, mungkin saja. Bisa
jadi perempuan ini dihina bagai sampah, diludah, atau siapa tahu ada yang
melemparinya dengan batu. Tak ada kesempatan untuk membela diri segala. Toh pun
ada, tapi itu tak mengurungkan hukuman mati yang akan diterimanya. Maklum, sudah
tercatat dalam Hukum Taurat. Hanya tinggal menunggu saat! Hanya sayang, belum
ada wartawan rupanya yang meliput kejadian ini waktu itu. Bisa jadi, bagai
berita hangat pengantar sarapan, atau secangkir kopi di pagi hari.
Cara matinya
pun pasti sangat menyakitkan. Karena menurut peraturan Hukum Taurat, ia pasti
akan dirajam dengan batu. Oh.... nasib
perempuan ini di ujung tanduk, hanya menunggu saat kematian dengan meninggalkan
catatan sejuta aib, menanggung dera hukuman yang tentu tiada sanggup ia
tanggungkan. Namun ia hanya sendiri. Tak ada yang perduli. Maklum, ia pelacur,
sampah masyarakat yang pantas menerima hukuman mati! Yang tidak kalah menarik,
sebelum hukuman mengenaskan dilaksanakan, menurut nas ini, mereka menggiringnya
dihadapkan kepada Yesus. Meminta apa pendapat Yesus apa mestinya yang harus
dilakukan terhadap perempuan yang kedaptan berzinah ini.
Disamping
mempermalukan perempuan ini, rupanya orang-orang Farisi juga mau menguji Yesus,
dengan harapan mendapatkan kesalahan-Nya! Pertanyaan mereka memang sulit
dijawab. Mereka pasti yakin bahwa mereka dapat menjatuhkan Tuhan Yesus. Jika Ia
menjawab bahwa perempuan itu harus dihukum mati, mereka dapat membawah Dia ke
pemerintah penjajah, karena Roma tidak memperbolehkan orang Yahudi melaksanakan
hukuman mati, menurut pasal 18:31. Sebaliknya jika Dia berkata bahwa perempuan
itu harus dilepaskan, tampaknya Ia melanggar hukum Taurat, sehingga nama-Nya
dapat dijelekkan di depan orang banyak.
Namun anehnya, Yesus tidak segera
menjawab. Yesus hanya membungkuk, dan menulis-nulis dengan jarinya di
tanah. Kita tidak diberitahu mengenai apa yang Dia tulis. Kita hanya diberitahu
bahwa Ia menulis. Dengan menulis Ia menunda tanggapan mereka, dan
memberikan kepada mereka kesempatan untuk memikirkan keadaan diri mereka
sendiri. Berselang beberapa waktu kemudian, Yesus bangkit berdiri dan berkata
kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang
pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (ay.7).
Entah apa yang yang mereka rasa, mereka pergi satu-persatu.
Pernyataan Yesus bagai petir menyambar di siang kerontang! Oh, saudara. Terlalu sering manusia melihat kuman di seberang lautan, tetapi
tak mampu melihat gajah di pelupuk matanya sendiri. Kesalahan, keburukan dan
kebodohan orang lain menjadi hal yang sangat besar di mata kita, padahal
keburukan, kesalahan, dan kebodohan kita sendiri sebenarnya ternyata lebih
besar dari apa yang kita tuduhkan kepada orang lain. Persis seperti kata
pepatah yang mengatakan“ buruk muka, cermin dibelah.” Kita sering lupa pada
keadaan sendiri, tetapi senang menyalahkan orang lain. Sikap menghakimi tidak
akan pernah menyelesaikan masalah. Dan inilah yang menjadi pertanyaan penting
bagi kita, “mengapa kita tidak boleh menghakimi?” Jawabnya, karena kita tidak
mengetahui persoalan yang sesungguhnya.
Ada
beberapa hal penting yang dapat kita gumuli atau renungkan bersama dari nas
ini, dalam kaitannya dengan keberadaan kita sebagai orang percaya, yaitu:
Pertama,
kecenderungan kita sebagai manusia, selalu memperhatikan atau mencari-cari atau
membicarakan kesalahan orang lain. Tanpa sadar, seringkali kita hanya melihat
kesalahan orang lain, tanpa menyadari kesalahan diri sendiri. Hal tersebut
terjadi karena keengganan kita untuk melihat den membicarakan kesalahan diri
sendiri. Tidak ada seorang pun yang berhak mengajukan kritik terhadap orang
lain, kecuali kalau ia sendiri bersedia melakukan secara lebih baik hal yang
dikritiknya itu.
Kedua,
mengapa kita tidak boleh menilai atau menghakimi orang lain dengan semena-mena?
Ya, karena kita tidak pernah mengetahui seluruh kenyataan dari pribadi orang
lain seutuhnya. Bisa saja penilaian kita keliru. Hampir tidak ada kemungkinan
bagi siapa pun untuk mengadakan penilaian atau penghakiman secara jujur dan
obyektif. Selalu ada faktor lain yang mempengaruhinya. Paling tidak keakuan
kita. Tidak ada orang yang pantas untuk menilai atau menghakimi orang lain.
Karena kecenderungannya hanya melihat kesalahan orang lain, sementara kesalahan
dirinya sendiri tidak dilihatnya.
Ketiga,
Tuhan tidak menempatkan kita sebagai hakim di atas kursiNya, yang selalu
mencari atau menilai kesalahan orang lain, juga tidak menempatkan kita dalam
dunia ini, supaya memainkan peranan sebagai pencerca. Tuhan menempatkan kita
dalam dunia ini supaya kita sendiri hidup dan bekerja sebagai anak-anakNya.
Sebab penghakiman atas yang hidup atau pun yang mati, itu ada dalam tanganNya.
Sebab penghakiman dan penilaianNya sungguh-sungguh adil dan benar (obyektif).
Sebaliknya penghakiman manusia cenderung subyektif, bahkan tidak jarang karena
ada kepentingan di dalamnya.
Dalam
menilai orang lain, seringkali seseorang menempatkan dirinya pada tempat yang
salah, tempat yang bukan miliknya. Kadangkala kita terlalu cepat menilai
sesuatu tanpa mengetahui alasan orang lain dalam melakukan sesuatu. Demikian
juga yang dialami perempuan yang tak berdaya ini. Ia dihakimi, dan menerima
penghukuman. Jika kita dapat merasakan beratnya kehidupan seseorang tentu kita
akan mampu menghargai perjuangan orang itu dalam melewati pergumulannya dan
menghargainya. Oleh sebab itu, hendaklah kita cepat untuk menilai diri sendiri
dan lambat menilai orang lain.
Maksud
Tuhan Yesus dalam nas ini, bukanlah supaya kita menolak tiap-tiap penghakiman
manusiawi. Sebab kita ini adalah manusia, maka adalah hakekat kitalah juga
untuk menyusun suatu penghakiman, dalam arti membuat suatu kesimpulan atau
pandangan tentang sesuatu. Oleh karena Tuhan Yesus juga telah mengajarkan
firman Tuhan kepada kita, sehingga kita untuk dapat membedakan yang baik dari
yang jahat, kebenaran dari kebohongan, moral dari yang amoral atau kesusilaan
dari ketidaksusilaan.
Orang
Farisi tidak mampu memahami persoalan yang sebenarnya. Jangan-jangan perempuan
ini ditipu, atau terpaksa karena kesulitan ekonomi misalnya, tidak
diperhitungkan rupanya. Lalu tentang si laki-laki hidung gelang? Oh... Bahkan, si laki-laki si hidung belangnya
entah kemana perginya dengan merdeka. Bukankah mestinya orang Farisi harus
menangkapnya juga? Padahal mereka razia? Tentunya kepergok kedua-duanya bukan? Namun
mereka hanya menghakimi dan mendesak perempuan ini untuk dihakimi dan menerima
hukuman. Oh, peraturan agama yang memuakkan! Jelas-jelas mendiskreditkan! Laki-boleh
melakukan apa saja, mau berisreri berapa? Sedangkan nasib perempuan menunggu
vonis dimadu atau diceraikan?!
Ya, buktinya
mereka tidak mampu menolong perempuan malang ini dengan teori dan argumen yang brilian dari
hukum taurat, hukum agama yang dianggap keramat! Mereka bukan malah menolong
perempuan ini, tetapi melukai perasaannya dan menghancurkan masa depannya. Menghancurkan
segalanya! Oh cara beragama yang paling memuakkan. Hukum agama yang malah nemabah
beban berat, bukan mengasihi diberikan kesempatan bertobat untuk mendapat
selamat! Berbeda dengan Yesus. Sikap Yesus ini menunjukkan tujuan-Nya dalam menebus
umat manusia . Dia tidak
menghukum wanita tersebut sebagai orang yang tidak layak diampuni, tetapi
menghadapinya dengan lembut dan kesabaran supaya menuntunnya kepada pertobatan.
Bagi dia keselamatan akan tersedia jikalau meninggalkan "kehidupan
berdosa", yaitu tinggalkan perzinaan dan kembali kepada suaminya (bd. Luk. 7:47). Yesus sama sekali ti tidak
meremehkan dosa perempuan itu, melainkan Ia memberikan kesempatan kedua kepada
perempuan itu untuk bertobat memulai hidup yang dibaharui.
Oh, orang-orang beragama yang
tidak kalah membuat muak! Setiap perkumpulan umpama,
termasuk di dalamnya gereja selalu penuh dengan orang yang selalu mengkritik
dan mencari kesalahan orang lain. Lihat saja, misalnya pada waktu rapat atau
pertemuan. Ada banyak orang yang interupsi untuk menyanggah atau mengkritik.
Namun ia sendiri tidak bersedia duduk dalam kepengurusan untuk melakukan
tanggungjawab atau memperbaiki hal-hal yang dikritiknya. Memang dalam dunia ini
penuh dengan orang-orang yang hanya mengajukan haknya untuk mengkritik, tetapi
melarikan diri kalau diminta untuk turut dalam tindakan perbaikan. Oh, buanglah
jauh-jauh sikap kemunafikan beragama semacam itu.
Hal
yang sangat ditentang oleh Tuhan Yesus dalam konteks nas ini, adalah: karena
para ahli Taurat dan orang-orang Farisi memaklumkan kepada khalayak ramai bahwa
merekalah yang menduduki kursi Musa sebagai hakim. Dengan sombong mereka
memperlihatkan sikap bahwa mereka berhak bertindak sebagai hakim ilahi.
Terlebih lagi, hukuman yang mereka lakukan sangat keras, kejam, tidak kenal
belas kasihan, den sepi akan kasih. Mereka menghamburkan kutukan-kutukan ke
sekelilingnya. Mereka mengutuki orang-orang yang dianggap melanggar Taurat. Namun
jika dicermati, maka yang sesungguhnya, akar dari pada penghakiman yang mereka
lakukan hanyalah kesombongan. Sebab penghakiman yang mereka lakukan hanyalah
nafsu upaya untuk mencari-cari kesalahan orang lain, sementara kesalahannya
sendiri sangatlah besar dan tidak dipedulikan.
Namun
jika dicermati, maka yang sesungguhnya, akar dari pada penghakiman yang mereka
lakukan hanyalah kesombongan. Tidak sedikit jumlah putusan pengucilan yang
mereka keluarkan, bagi mereka yang tidak tahu atau tidak mentaati Taurat. Penghakiman
yang mereka lakukan hanyalah nafsu upaya untuk mencari-cari kesalahan orang
lain, sementara kesalahannya sendiri sangatlah besar dan tidak dipedulikan. Buanglah
jauh-jauh sikap beragama semacam ini. Belajarlah dengan sikap Yesus. Ya, cara
kita beragama yang pas. Hati yang luka dan jiwa yang menagis dibuat-Nya lega!
AMIN *(KU).
mantap Pa Kris baelang ka Blog ulun www.hadi-saputra-miter.blogspot.com
BalasHapusHadi apa kbr? Trms telah mampir di blok ini. Semoga sukses slalu. Tuhan memberkati.
BalasHapus