Renungan GKE

Sabtu, 21 Juli 2012

HIJRAH SANG PEREMPUAN PENDOSA



Yohanes 7:53-8:11

Betapa malangnya nasib seorang perempuan yang diceritakan dalam nas ini. Ia dirazia dan kedapatan sedang berbuat zinah. Ia dirazia bukan oleh polisi atau penegak hukum lainnya, tetapi oleh tokoh-tokoh agama, orang Farisi sang pembela kesucian nilai-nilai agama! Oh, tugas rangkap rupanya! Oh... betapa terhinanya perempuan ini. Entah apa yang ia rasa. Dipermalukan, memang tidak mengenakan. Hampir rata-rata manusia (kalau mau jujur),  tak ada yang mau diperlakukan demikian. Namun apa daya, ia hanyalah seorang perempuan yang lemah tak berdaya. Diperlakukan semena-mena. 

Dapat saudara bayangkan apa perlakuan orang-orang  terhadap perempuan ini di sepanjang perjalanan sebelum menerima hukuman mati. Digiring dengan sepak tendang, mungkin saja. Bisa jadi perempuan ini dihina bagai sampah, diludah, atau siapa tahu ada yang melemparinya dengan batu. Tak ada kesempatan untuk membela diri segala. Toh pun ada, tapi itu tak mengurungkan hukuman mati yang akan diterimanya. Maklum, sudah tercatat dalam Hukum Taurat. Hanya tinggal menunggu saat! Hanya sayang, belum ada wartawan rupanya yang meliput kejadian ini waktu itu. Bisa jadi, bagai berita hangat pengantar sarapan, atau secangkir kopi di pagi hari.

Cara matinya pun pasti sangat menyakitkan. Karena menurut peraturan Hukum Taurat, ia pasti akan dirajam dengan batu.  Oh.... nasib perempuan ini di ujung tanduk, hanya menunggu saat kematian dengan meninggalkan catatan sejuta aib, menanggung dera hukuman yang tentu tiada sanggup ia tanggungkan. Namun ia hanya sendiri. Tak ada yang perduli. Maklum, ia pelacur, sampah masyarakat yang pantas menerima hukuman mati! Yang tidak kalah menarik, sebelum hukuman mengenaskan dilaksanakan, menurut nas ini, mereka menggiringnya dihadapkan kepada Yesus. Meminta apa pendapat Yesus apa mestinya yang harus dilakukan terhadap perempuan yang kedaptan berzinah ini. 
 
Disamping mempermalukan perempuan ini, rupanya orang-orang Farisi juga mau menguji Yesus, dengan harapan mendapatkan kesalahan-Nya! Pertanyaan mereka memang sulit dijawab. Mereka pasti yakin bahwa mereka dapat menjatuhkan Tuhan Yesus. Jika Ia menjawab bahwa perempuan itu harus dihukum mati, mereka dapat membawah Dia ke pemerintah penjajah, karena Roma tidak memperbolehkan orang Yahudi melaksanakan hukuman mati, menurut pasal 18:31. Sebaliknya jika Dia berkata bahwa perempuan itu harus dilepaskan, tampaknya Ia melanggar hukum Taurat, sehingga nama-Nya dapat dijelekkan di depan orang banyak

Namun anehnya, Yesus tidak segera menjawab. Yesus hanya membungkuk, dan menulis-nulis dengan jarinya di tanah. Kita tidak diberitahu mengenai apa yang Dia tulis. Kita hanya diberitahu bahwa Ia menulis. Dengan menulis Ia menunda tanggapan mereka, dan memberikan kepada mereka kesempatan untuk memikirkan keadaan diri mereka sendiri. Berselang beberapa waktu kemudian, Yesus bangkit berdiri dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (ay.7).

Entah apa yang yang mereka rasa, mereka pergi satu-persatu. Pernyataan Yesus bagai petir menyambar di siang kerontang! Oh, saudara. Terlalu sering manusia melihat kuman di seberang lautan, tetapi tak mampu melihat gajah di pelupuk matanya sendiri. Kesalahan, keburukan dan kebodohan orang lain menjadi hal yang sangat besar di mata kita, padahal keburukan, kesalahan, dan kebodohan kita sendiri sebenarnya ternyata lebih besar dari apa yang kita tuduhkan kepada orang lain. Persis seperti kata pepatah yang mengatakan“ buruk muka, cermin dibelah.” Kita sering lupa pada keadaan sendiri, tetapi senang menyalahkan orang lain. Sikap menghakimi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dan inilah yang menjadi pertanyaan penting bagi kita, “mengapa kita tidak boleh menghakimi?” Jawabnya, karena kita tidak mengetahui persoalan yang sesungguhnya.

Ada beberapa hal penting yang dapat kita gumuli atau renungkan bersama dari nas ini, dalam kaitannya dengan keberadaan kita sebagai orang percaya, yaitu:

Pertama, kecenderungan kita sebagai manusia, selalu memperhatikan atau mencari-cari atau membicarakan kesalahan orang lain. Tanpa sadar, seringkali kita hanya melihat kesalahan orang lain, tanpa menyadari kesalahan diri sendiri. Hal tersebut terjadi karena keengganan kita untuk melihat den membicarakan kesalahan diri sendiri. Tidak ada seorang pun yang berhak mengajukan kritik terhadap orang lain, kecuali kalau ia sendiri bersedia melakukan secara lebih baik hal yang dikritiknya itu.

Kedua, mengapa kita tidak boleh menilai atau menghakimi orang lain dengan semena-mena? Ya, karena kita tidak pernah mengetahui seluruh kenyataan dari pribadi orang lain seutuhnya. Bisa saja penilaian kita keliru. Hampir tidak ada kemungkinan bagi siapa pun untuk mengadakan penilaian atau penghakiman secara jujur dan obyektif. Selalu ada faktor lain yang mempengaruhinya. Paling tidak keakuan kita. Tidak ada orang yang pantas untuk menilai atau menghakimi orang lain. Karena kecenderungannya hanya melihat kesalahan orang lain, sementara kesalahan dirinya sendiri tidak dilihatnya.

Ketiga, Tuhan tidak menempatkan kita sebagai hakim di atas kursiNya, yang selalu mencari atau menilai kesalahan orang lain, juga tidak menempatkan kita dalam dunia ini, supaya memainkan peranan sebagai pencerca. Tuhan menempatkan kita dalam dunia ini supaya kita sendiri hidup dan bekerja sebagai anak-anakNya. Sebab penghakiman atas yang hidup atau pun yang mati, itu ada dalam tanganNya. Sebab penghakiman dan penilaianNya sungguh-sungguh adil dan benar (obyektif). Sebaliknya penghakiman manusia cenderung subyektif, bahkan tidak jarang karena ada kepentingan di dalamnya.

Dalam menilai orang lain, seringkali seseorang menempatkan dirinya pada tempat yang salah, tempat yang bukan miliknya. Kadangkala kita terlalu cepat menilai sesuatu tanpa mengetahui alasan orang lain dalam melakukan sesuatu. Demikian juga yang dialami perempuan yang tak berdaya ini. Ia dihakimi, dan menerima penghukuman. Jika kita dapat merasakan beratnya kehidupan seseorang tentu kita akan mampu menghargai perjuangan orang itu dalam melewati pergumulannya dan menghargainya. Oleh sebab itu, hendaklah kita cepat untuk menilai diri sendiri dan lambat menilai orang lain. 

Maksud Tuhan Yesus dalam nas ini, bukanlah supaya kita menolak tiap-tiap penghakiman manusiawi. Sebab kita ini adalah manusia, maka adalah hakekat kitalah juga untuk menyusun suatu penghakiman, dalam arti membuat suatu kesimpulan atau pandangan tentang sesuatu. Oleh karena Tuhan Yesus juga telah mengajarkan firman Tuhan kepada kita, sehingga kita untuk dapat membedakan yang baik dari yang jahat, kebenaran dari kebohongan, moral dari yang amoral atau kesusilaan dari ketidaksusilaan.

Orang Farisi tidak mampu memahami persoalan yang sebenarnya. Jangan-jangan perempuan ini ditipu, atau terpaksa karena kesulitan ekonomi misalnya, tidak diperhitungkan rupanya. Lalu tentang si laki-laki hidung gelang?  Oh... Bahkan, si laki-laki si hidung belangnya entah kemana perginya dengan merdeka. Bukankah mestinya orang Farisi harus menangkapnya juga? Padahal mereka razia? Tentunya kepergok kedua-duanya bukan? Namun mereka hanya menghakimi dan mendesak perempuan ini untuk dihakimi dan menerima hukuman. Oh, peraturan agama yang memuakkan! Jelas-jelas mendiskreditkan! Laki-boleh melakukan apa saja, mau berisreri berapa? Sedangkan nasib perempuan menunggu vonis dimadu atau diceraikan?! 

Ya, buktinya mereka tidak mampu menolong perempuan malang ini  dengan teori dan argumen yang brilian dari hukum taurat, hukum agama yang dianggap keramat! Mereka bukan malah menolong perempuan ini, tetapi melukai perasaannya dan menghancurkan masa depannya. Menghancurkan segalanya! Oh cara beragama yang paling memuakkan. Hukum agama yang malah nemabah beban berat, bukan mengasihi diberikan kesempatan bertobat untuk mendapat selamat! Berbeda dengan Yesus. Sikap Yesus ini menunjukkan tujuan-Nya dalam menebus umat manusia . Dia tidak menghukum wanita tersebut sebagai orang yang tidak layak diampuni, tetapi menghadapinya dengan lembut dan kesabaran supaya menuntunnya kepada pertobatan. Bagi dia keselamatan akan tersedia jikalau meninggalkan "kehidupan berdosa", yaitu tinggalkan perzinaan dan kembali kepada suaminya (bd. Luk. 7:47). Yesus sama sekali ti tidak meremehkan dosa perempuan itu, melainkan Ia memberikan kesempatan kedua kepada perempuan itu untuk bertobat memulai hidup yang dibaharui.

Oh, orang-orang beragama yang tidak kalah membuat muak! Setiap perkumpulan umpama, termasuk di dalamnya gereja selalu penuh dengan orang yang selalu mengkritik dan mencari kesalahan orang lain. Lihat saja, misalnya pada waktu rapat atau pertemuan. Ada banyak orang yang interupsi untuk menyanggah atau mengkritik. Namun ia sendiri tidak bersedia duduk dalam kepengurusan untuk melakukan tanggungjawab atau memperbaiki hal-hal yang dikritiknya. Memang dalam dunia ini penuh dengan orang-orang yang hanya mengajukan haknya untuk mengkritik, tetapi melarikan diri kalau diminta untuk turut dalam tindakan perbaikan. Oh, buanglah jauh-jauh sikap kemunafikan beragama semacam itu. 

Hal yang sangat ditentang oleh Tuhan Yesus dalam konteks nas ini, adalah: karena para ahli Taurat dan orang-orang Farisi memaklumkan kepada khalayak ramai bahwa merekalah yang menduduki kursi Musa sebagai hakim. Dengan sombong mereka memperlihatkan sikap bahwa mereka berhak bertindak sebagai hakim ilahi. Terlebih lagi, hukuman yang mereka lakukan sangat keras, kejam, tidak kenal belas kasihan, den sepi akan kasih. Mereka menghamburkan kutukan-kutukan ke sekelilingnya. Mereka mengutuki orang-orang yang dianggap melanggar Taurat. Namun jika dicermati, maka yang sesungguhnya, akar dari pada penghakiman yang mereka lakukan hanyalah kesombongan. Sebab penghakiman yang mereka lakukan hanyalah nafsu upaya untuk mencari-cari kesalahan orang lain, sementara kesalahannya sendiri sangatlah besar dan tidak dipedulikan. 

Namun jika dicermati, maka yang sesungguhnya, akar dari pada penghakiman yang mereka lakukan hanyalah kesombongan. Tidak sedikit jumlah putusan pengucilan yang mereka keluarkan, bagi mereka yang tidak tahu atau tidak mentaati Taurat. Penghakiman yang mereka lakukan hanyalah nafsu upaya untuk mencari-cari kesalahan orang lain, sementara kesalahannya sendiri sangatlah besar dan tidak dipedulikan. Buanglah jauh-jauh sikap beragama semacam ini. Belajarlah dengan sikap Yesus. Ya, cara kita beragama yang pas. Hati yang luka dan jiwa yang menagis dibuat-Nya lega! AMIN *(KU).

2 komentar:

  1. mantap Pa Kris baelang ka Blog ulun www.hadi-saputra-miter.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Hadi apa kbr? Trms telah mampir di blok ini. Semoga sukses slalu. Tuhan memberkati.

    BalasHapus