Renungan GKE

Minggu, 22 Juli 2012

ROH KUDUS: SIMBOLIS ATAU SUNGGUH-SUNGGUH?


Kisah Para Rasul 2:1-13

Adalah seorang bernama Lorenzo de  Medici, seorang penata seni terbesar di kota Florence, Italia. Pada suatu hari begitu dalam kisah, Lorenzo diberi tugas untuk menghias sebuah gereja di kota itu yang akan merayakan hari novena Pentakosta. Kali ini, hiasan yang dibuatnya rupanya terlampau realistis. Ia mempergunakan api yang sungguh-sungguh untuk menggambarkan  lidah-lidah api yang hinggap di kepala para rasul.

Begitu pula dengan tiupan angin yang kencang. Dan suara topan yang menderu-deru. Dan akibatnya? Seluruh gereja terbakar. Terbakar dengan sungguh-sungguh pula. Apakah komentar saudara mendengar kisah tersebut? Saya yakin, banyak di antara kita akan berkata: Mestinya Lorenzo tidak usah memakai api yang sungguh-sungguh dan angin yang sungguh-sungguh. Cukup  yang simbolis. Bukankah kita dapat menggunakan kertas-kertas minyak berwarna merah, kemudian disorot dengan cahaya lampu yang kuat, dan ditiup oleh angin yang berasal dari sebuah fan atau kipas angin. Cukup mengesankan. Dan yang penting, ia tidak membakar.

Dan memang, saudara-saudara, banyak gereja kita yang aman dan tidak terbakar. Berdiri dengan aman, teguh dan kokohnya. Sebab Pentakosta itu cukup yang simbolis saja. Kuasa Roh Kudus diakui, tapi tidak sungguh-sungguh. Kuasa Roh Kudus diakui, tetapi tidak dialami. Saudara, dalam kebaktian ini pasti kita akan membawa persebahan bagi Tuhan. Tapi saya tidak tahu, berapa banyak di antara kita yang benar-benar terbakar oleh roh rasa syukur. Atau cukup yang simbolis saja. Bukan pura-pura. Tapi juga tidak sungguh-sungguh. Simbolis. Entah berapa banyak di antara kita yang hadir di sini benar-benar dibakar oleh roh kebersamaan dan persatuan. Mengalami sungguh-sungguh suatu kuasa dan desakan serta kerinduan dari dalam untuk terwujudnya persekutuan dan kebersamaan di jemaat kita ini. Atau cukup itu sekedar simbolis saja. Kebaktian-kebaktian resmi. Sekali-sekali persekutuan rumah tangga. Tapi tidak terbakar.

Kisah Lorenzo de Medici tadi dapat kita jadikan suatu pengantar yang indah untuk kita bertanya dan memeriksa diri: Apakah kita memang benar-benar siap untuk mengalami Pentakosta yang sungguh-sungguh? Apabila jawab kita adalah Ya, maka baiklah kita sadari bersama bahwa Pentakosta yang sungguh-sungguh itu akan sungguh-sungguh pula mengganggu kita, merobohkan bangunan-bangunan kesayangan kita, membakar dan menghanguskannya.

Saya tahu banyak orang dengan sungguh-sungguh merindukannya. Tetapi bila benar-benar Roh Kudus itu datang, maka tidak sedikit orang akan menjadi ciut hatinya, takut dan ngeri dan melarikan diri. Max Beebohm, si anarkis, pernah berkata: “Aku adalah seorang anarkis tulen. Sebab itu kalian boleh berbuat apa saja. Ya, apa yang kalian mau. Asal saja itu tidak mengganggu gugat apa yang aku yakini.” Kita tanpa sadar juga sering berkata demikian. Roh Kududs silahkan datang! Roh Kudus silahkan berbuat apa saja yang Anda mau! – asal saja itu tidak mengganggu gugat apa yang aku yakini atau membakar yang aku sayangi.

Pernahkah Saudara pikirkan apa yang akan terjadi sekiranya apa yang kita katakana dalam doa kita benar-benat menjadi kenyataan? Kita sering berdoa agar Roh Kudus memberikan kekuatan kepada kita. Sadarkah saudara apa artinya kekuatan itu, sekiranya ia sungguh-sungguh dikaruniakan kepada kita? Kekuatan adalah sesuatu yang tidak dapat diam. Sekali ia kita miliki, ia akan meronta-tonta di dalam diri kita, dan terus akan meronta sampai ia disalurkan dan diwujudkan di dalam pergulatan, pergumulan dan peperangan.

Berdoa minta kekuatan, tidak lain adalah berdoa agar kita dibawa ke dalam pergumulan dan pertempuran itu. Kecuali, tentu saja, apabila yang kita minta itu adalah kekuatan yang simbolis saja. Kita sering berdoa dan berkata bahwa kita menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan. Sadarkah saudara apa yang saudara doakan itu? Menyerahkan diri sepenuhnya! Ya, Yesus sangat menghargainya. Lalu Yesus benar-benar datang mengambil semuanya dari kita. Mengambil tenaga, mengambil waktu, mengambil uang kita. Bukankah kita akan menyesal, dan mungkin akan berkata: Wah, kalau tahu begitu jadinya, aku tentu akan berdoa menyerahkan diri 10% saja, tidak seratus persen. Penyerahan diri yang simbolis saja. Kita sering berdoa agar Roh Kudus menghibur kita. O ya, dihibur tentu saja enak. Tapi sadarkah saudara akan apa yang saudara doakan itu? Saudara minta dihibur, dihibur dari apa, karena apa? Bukankah penghiburan itu baru menjadi penghiburan yang sungguh-sungguh di tengah kesedihan yang sungguh-sungguh pula? Sering pula kita berdoa, agar Roh Kudus menerangi hati dan pikiran kita. Memberi kekuatan untuk menerima dan melakukan firman Tuhan. Menjadikan firman itu laksana suluh dan pelita dalam kehidupan kita.

Tapi sadar pulakah Anda akan apa yang Anda doakan itu? Akan resiko dan konsekwensinya? Lalu Tuhan memang sungguh-sungguh memperdengarkan firmanNya. Mengoreksi, menempelak, menerangi jalan kehidupan kita. Menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh kita dengan firmanNya. Yang lebih tajam dari pada pedang bermata dua. Sangat mengganggu pertimbangan dan pikiran hati kita. Bukankah kita akan menyesal dan mungkin berkata: Wah, kalau tahu begitu akibatnya, tentu aku akan berdoa meminta firman yang simbolis saja.

Saudara, Roh Kudus itu laksana lidah api yang menghanguskan dan angin topan yang kekuatannya tak tertahankan. Sungguh-sungguhkah kita memintaNya? Atau sekedar simbolis saja? Tiga pasal pertama dari kitab Kisah Para Rasul menyatakan, bahwa para murid diminta untuk menunggu di Yerusalem oleh karena tugas-tugas maha berat yang akan mereka hadapi. Tugas-tugas yang tidak akan dapat mereka laksanakan hanya dengan mengandalkan kekuatan dan semangat mereka sendiri. Oleh karena itu, menerima Roh Kudus berarti: menerima tugas-tugas yang maha berat itu, yang kita tahu akhirnya menuntut nyawa mereka. Nah, masih bersediakah kita menerima Roh Kudus yang sungguh-sungguh bila demikian itulah artinya? Tidak mungkin kita hanya mau menerima seragam hijau yang mentereng dengan bintang emas di pundak sehingga kita dapat berjalan dengan gagah, tetapi kita tidak mau masuk ke medan perang.

Tugas maha berat itu adalah tugas untuk ke luar, ke dunia. Tugas untuk membawa, memberitakan, memperkenalkan dan bersaksi tentang Yesus Kristus kepada semua orang dan ke seluruh dunia. Tugas ini adalah tugas yang maha berat, sebab ia penuh dengan resiko. Resiko, sebab dunia kepada siapa kita akan menyaksikan tentang Kristus itu adalah dunia yang pada hakekatnya membenci Kristus. Resiko, sebab Kristus yasng harus kita beritakan itu adalah Kristus yang tersalib, yang merupakan kebodohan bagi orang Yunani dan batu sandungan bagi orang Yahudi.

Untuk tugas maha berat itulah, yaitu tugas berat bagi dunia, para rasul dengan tekun bersekutu di dalam doa bersama sepuluh hari lamanya. Sekali lagi: bukan untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan spiritual secara pribadi. Untuk tugas maha berat itulah, yaitu tugas berat bagi dunia, Matias dipilih untuk menggantikan Yudas. Bukan sekedar untuk memantapkan organisasi. Untuk tugas maha berat itulah, yaitu tugas berat bagi dunia, Allah mengutus Roh Kudus turun ke atas mereka. Bukan sekedar untuk membuat mereka orang-orang Kristen lahir baru yang dapat membanggakan kesalehan dan keimanan pribadi mereka.

Roh Kudus memang bukanlah untuk membawa nikmat. Sebaliknya, Ia membakar, menghancurkan, menghanguskan impian-impian pribadi para rasul. Roh Kudus membuat mereka tidak lagi berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi di dalam bahasa para pendengar mereka. Artinya: mereka kini tidak dapat hidup untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak dapat memikirkan hanya keselamatan mereka sendiri dan kepentingan mereka sendiri. Mereka kini adalah saksi-saksi. Artinya:, seluruh hidup dan kedirian mereka kini hanya menunjuk kepada yang lain, kepada Yesus Kristus.

Untuk Yesus inilah mereka hidup. Dan untuk Yesus Kristus mereka mati. Itulah artinya, ketika mereka menerima Roh Kudus secara sungguh-sungguh. Dan tidak hanya secara simbolis. Para Rasul itu memang tidak berbicara tentang revolusi atau tentang pembangunan nasional. Tetapi dalam hati mereka ada suatu kepastian, bahwa dengan mempertemukan dunia ini dengan Kristus, dunia akan berubah. Bayangkan: 12 orang yang yakin mampu mengubah dunia. Tapi mereka tahu persis, bahwa mereka tak pernah mampu mengubah dunia, tanpa terlebih dahulu mereka sendiri diubah. Dan itu pulalah yang terjadi. Mereka diubah, dibakar, dihanguskan, seperti katedral di kota Florence itu. Ini tidak berarti bahwa Roh Kudus itu hanya bersifat destruktif (merusak). O, sama sekali tidak! Roh Kudus juga bersifat konstruktif (membangun). Ia tidak hanya merusak. Roh Kudus juga membangun. Menghancurkan tabiat dan gaya hidup yang lama. Membangun suatu filsafar dan gaya hidup yang baru. Gaya hidup yang baru ini dirumuskan oleh Kisah Para Rasul 4:32 sebagai berikut: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka.”

Roh Kudus adalah suatu kuasa. Merupakan kekuatan yang tak tertahankan untuk memulai sesuatu yang baru, kebersamaan yang baru dan gaya hidup yang baru. Juga keberanian yang baru. Untuk menciptakan persekutuan dan kebersamaan yang utuh, pelayanan dan kesaksian yang sungguh-sungguh, menjadikan dompetku menjadi dompet kita besama, alangkah nonsense. Apabila hanya mengandalkan Roh Kudus yang simbolis saja. Alangkah mustahilnya, tanpa diubah, dibakar, dihanguskan dan dibaharui oleh Roh Kudus yang sungguh-sungguh pula. AMIN.  *(Pdt.DR.Eka Darmaputera, Ph.D).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar